Monday 23 November 2015

Fungsi dan Tujuan Ayat Suci Al-Qur'an Diturunkan

Assalamualaikum pemirsa blog yang setia berkunjung ke blog Islam, sudah kita ketahui bersama bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhamad saw., sebagai mukjizat baginya, dan bukti kebenaran kerasulannya. Allah swt. menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Muhamad saw. dengan membawa beberapa fungsi dan tujuan.
http://cdn.ar.com/images/stories/2014/07/
jadikan al-qur'an sebagai hatimu

Berikut Beberapa Fungsi dan Tujuan Al-Qur'an diturunkan :

 1. Petunjuk bagi manusia 

Allah menurunkan al-qur'a adalah sebagai petunjuk bagi manusia. Dalam al-qur'an banyak diterangkan mengenai fungsinya sebagai petunjuk bagi manusia dalam menempuh kehidupan.  
Firman Allah surah Al-Baqarah : 185, 2, dan surah Fussilat : 44. (PRya cari sendiri di Al-Qur'an masing-masing hehe)

2. Sumber pokok ajaran islam

Fungsi al-qur'an seagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya oleh segenap umat islam. Sumber ajaran dalam al-qur'an ada yang disebut ajaran dasar dan bukan dasar. Ajaran dasar adalah ajaran-ajaran yang hanya diungkapkan pokok-pokoknya. Ajaran al-qur'an semacam ini banyak berkaitan dengan persoalan-persoalan pengetahuan agama (islam), terutama dalam bidang keimanan (akidah) dan ibadah mahdah. Adapun ajaran yang bukan dasar mencakup persoalan kemanusiaan secara umum, yang meliputi hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan, atau seni. Mengenai bidang-bidang ini, al-qur'an hanya menunjukan prinsip-prinsip umum. Pengaturan dalam bentuk perincian dan pengembangannya diserahkan kepada manusia sesuai kemampuan yang dimiliki, lingkungan, dan zaman di mana manusia berada. Hanya, semua itu tidak boleh bertentangan degan prinsip-prinsip yang telah digariskan al-qur'an.
Kita ambil sebagai contoh, manusia yang mengatur kehidupan politiknya dalam berbangsa dan bernegara. Manusia dengan kemampuan rasio dan pertimbangan zaman serta wilayah di mana mereka berada, diberi hak dan kebebasan mengatur kehidupan rakyat dan bangsanya. Namun, negara yang dibangun dan diatur itu harus berpegang pada prinsip-prinsip al-qur'an, seperti keadilan dan musyawarah. Perhatikan beberapa firman Allah swt. sebagai berikut .
Surah Al-Maidah ayat 8 dan surah Asy-Syura ayat 38. (PR)

3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia 

Dalam al-qur'an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, baik umat yang taat melaksanakan ajaran dan perintah Allah maupun mereka yang mengingkari atau menentang seruan-seruan-Nya. Bagi kita, umat yang datang kemudian, tentu harus pandai-pandai mengambil pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan dalam Al-Qur'an. Kisah-kisah itu berguna bagi kita, baik sebagai pelajaran maupun peringatan. Orang-orang yang taat dan patuh pada ajaran atau hukum Allah akan selamat dan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. 
Diantara ayat-ayat al-qur'an yang menerangkan tentang fungsi al-qur'an sebagai pelajaran dan peringatan bagi umat manusia adalah surah Asy-Syura ayat 7.
Demikian postingan saya kali ini mudah-mudahan bermanfaat ya untuk kalian yang membaca, jangan sungkan-sungkan untuk mampir ke blog islam ya dan jangan lupa dishare ke teman-temanmu agar dakwah kita terus berlanjut oke.

Tuesday 17 November 2015

Keagungan dan Kebesaran Al-Qur'an

Assalamualaikum sobat blog kali ini saya akan posting mengenai : 

Keagungan dan Kebesaran Al-Qur'an serta Tuntunan Terhadap Umat 

A. Keagungan dan Kebesaran Al-Qur'an 

Al-Qur'an sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Qur'an sendiri adalah kalam dan wahyu Allah swt (asy-Syuraa : 2) yang berfungsi sebagai mukjizat bagi Muhammad Rasullah saw., pedoman hidup bagi setiap muslim, pengoreksi dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang diturunkan sebelumnya dan membaca adalah ibadah. Al-Qur'an adalah tali Allah yang sangat kuat, peringatan ang bijaksana dan jalan yang sangat lurus. Al-Qur'an adalah kitab yang mampu mengendalikan hawa nafsu. Apabila dibaca, lidah tidak akan bercampur dengan yang lainya. Para ulama tidak akan merasa kenyang dengannya. Al-Qur'an adalah kitab yang tidak akan rusak karena sering dibolak-balik (dibaca dan dipelajari). Kitab yang tidak akan pernah habis keagungan dan keindahannya. Kitab yang golongan jin tertegun-tegun ketika mendengarnya, sehingga mereka berkata " Kami talah mendengan al-qur'an yang agung, yang memberi petunjuk kepada kebenaran, karena itu kami beriman kepadanya." Barang siapa yang berkata berdasarkan pada al-qur'an, pasti akan mendapat pahala. Barangsiapa yang menghukumi sesuatu berdasar kepadanya, sungguh orang itu telah mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus.
Keagungan, kebesaran, dan kesempurnaan Al-Qur'an antara lain ditentukan pula oleh kandungan ayat-ayat ang memiliki ciri-ciri terntentu :

a. Bijaksana (wisdom, hikmah). Suruhan dan laranganna selalu mengetuk peraaan, pikiran dan emosi. Mengajak manusia untuk berpikir dan berdialog dengan dirina. Cara penyampaiannya begitu banyak dan bervariasi. Kadangkala dengan suruhan dan larangan ang bersifat langsung, kadangkala dengan suruhan dan larangan yang bersifat langsung, kadangkala dikemukakan manfaat dan mudaratnya, kadangkala dikemukakan pula dengan pendekatan historis. Suruhan dan larangannya bersifat tadrij (bertahap, tidak sekaligus) sejalan dengan cara turunnya yang bertahap.

b. Dinamis. al-Qur'an mengajak manusia untuk aktif berpikir dan berbuat; dan dinamis dalam menata kehidupan. Selalu mengajak manusia untuk memanfaatkan segala potensi yang dianugrahkan Allah swt kepadanya; potensi pengdengaran, penglihatan, dan akal pikiran/hati untuk segala sesuatu yang bermanfaat sesuai dengan aturan dan ketetapan-Nya. Allah swt akan memberikan kehidupan yang baik dan pahala ang berlipat ganda bagi siapa saja, laki-laki maupun perempuan yang beriman dengan benar dan dinamis dalam beramal saleh.

c. Praktis. Dalam artian, bisa dilaksanakan oleh umat manusia. Allah swt menurunkan Al-Qur'an untuk dijadikan pedoman hidup oleh umat manusia. Karena itu, mustahil ada ayat Al-Qur'an yang tidak bisa dilaksanakan. Hanya manusia-manusia ang sombong dan takabur yang mengatakan bahwa ada ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak bisa dilaksanakan. Hanya manusia-manusia yang sombong dan tabur ang mengatakan bahwa ada ayat-ayat yang tidak bisa dilaksanakan.

d. Keseimbangan(moderation) ayat-ayat Al-Qur'an senantiasa mendorong umat manusia untuk memiliki keharmonisan dan keseimbangan dalam kehidupan. Keseimbangan mental sprititual dengan fisik material, kehidupan individu dengan masyarakat, kehidupan dunia dengan akhirat, akan tetapi menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir dan dunia sebagai alat dan sarana.


B. Tuntutan Al-Qur'an terhadap Umat manusia 

Tuntutan dan pedoman Al-Qur'an menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Tuntukan untuk melaksanakan shalat dengan khusyu dan tertib. Tuntukan mengeluarkan zakat sebagai kewajiban yang pasti dari Allah swt. yang memiliki fungsi sebagai pembersih, penyuci dan pengembang harta, serta meningkatkan harkat derajat kehidupan golongan mustahik seperti fakir dan miskin; tuntunan untuk melaksanakan ibadah puasa dengan baik dan benar; tuntunan untuk melaksanakan ibaah haji bagi yang mampu karena di dalam wah ini terdapat kemanfaatan yang besar; tuntunan menata kehidupan masyarakat yang didasari kebersamaan, keadilan, dan musyawarah; dan lainya. 

Demikian tulisan yang saya tulis semoga bermanfaat ya. 
Daftar pustak : Abdalati, Muhammad.1980."Islam in Focus". Riyadh: WAMY.

Friday 16 January 2015

Akibat Maksiat (Part 1)

Maksiat membahayakan manusia di dunia dan di akhirat. Hanya Allah yang mengetahui akibat dan pengaruhnya. Walau begitu, dampak maksiat dapat dirasakan oleh pelakunya. 

1. Maksiat Menghalangi Ilmu 

Ilmu adalah sinar yang diletakan Allah di dalam hati. Sebaliknya maksiat memadamkan sinar itu. 
Suatu ketika, Imam Syafi'i duduk di depan imam. Dia membacakan sesuatu yang membuat Imam Malik kagum. Imam malik sangat mengagumi kecepatannya dalam menangkap pelajaran, juga kecerdasannya dan pemahamannya yang sempurna. Imam Malik berkata, "Aku melihat Allah meletakan sinar dalam hatimu. Jangan padamkan sinar itu dengan kegelapan maksiat. 
Imam Syafi'i menjawab, " aku mengeluhkan hapalanku yang jelek kepada Waki'. Ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Waki' berkata, 'Ketahuilah, ilmu itu anugrah dan anugrah Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat.'

2. Maksiat Menghalangi Rezeki 

Dalam musnad dikatakan, "seorang hamba tidak mendapatkan rezeki karena dosa yang ia kerjakan."
Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa takwa kepada Allah dapat mendatangkan rezki. Sebaliknya, meninggalkan takwa kepada Allah dapat mendatangkan kekafiran dan kemiskinan.

3. Maksiat Mengundang Kerisauan dan Kesepian dalam Hati

Diantra seorang hamba dan Allah, dalam hatinya, tak ada keseimbangan dan keterkaitan yang disertai dengan kenikmatan mendasar. Kenikmatatan-kenikmatan dunia dan seisinya tak akan mampu mengimbangi keresahan seorang manusia.
Ini sesuatu yang tidak dirasakan, kecuali oleh orang yang hatinya hidup. Orang mati tak merasakan sakit yang ditimbulkan oleh luka. Maksiat dapat membuat keresahan dan keterasingan. Orang berakallah yang memilih ntuk meninggalkan maksiat. 

4. Maksiat Mendatangkan Kesulitan 

Kemaksiat menjadikan seorang menjumpai banyak kesulitan. Ia tidak punya pemecahan, kecuali dengan jalan yang serba sulit. Orang yang bertakwa kepada Allah mendatangkan keringanan. Sedangkan orang yang tidak bertakwa mendapat kesukaran dari Allah dalam setiap urusannya. Sangat mengherankan, jika seorang hamba ketika ia mendapatkan pintu-pintu kebaikan dan kemaslahan tertutup, namun ia tidak mengehatui asal muasalnya.

5. Maksiat Menimbulkan Kegelapan dalam Hati

Abdullah bin Abbas berkata, "Kebaikan memiliki cahaya di wajah, sinar di hati, kelapangan pada rezki, kekuatan pada badan dan kecintaan dari hati banyak orang terhadap dirinya. 

6. Maksiat Melemahkan Hati dan Badan 

Kelemahan pada hati akibat maksiat adalah fakta nyata. Maksiat akan terus-menerus melemahkannya hingga akhir hidupnya. Kekuatan orang mukmin itu terletak pada hati. Setiap kali hatinya menguat, badannya menjadi kuat. Sedangkan orang jahat akan akan rusak. Walaupun berbadan kuat, sesungguhnya ia paling lemah. Saat memerlukan kekuatan, ia dikhianati dan dikelabui oleh kekuatannya sendiriyang sangat ia perlukan. 

7. Maksiat Menghalangi Ketaatan

Hukuman bagi pendosa adalah terhalangnya ia dari mentaati Allah dan terputusnya jalan kebaikan lainnya. Setiap ketaatan lebih baik dari pada dunia dan seisinya. Ibaratnya, seorang laki-laki mengonsumsi suatu makanan yang mendatangkan penyakit yang lama sembuhnya,yang akhirnya mencegahnya dari berbagai macam makanan yang enak dan baik. Allah Maha suci dan Maha Penolong. Hanya Dia yang dapat dimintai pertolongan.

Monday 12 January 2015

Kaidah Amar (perintah)


ا لأ صــل فى ا لأ مــر لـلــو جـو ب


Asal dalam perintah menunjukan arti wajib

ا لأ صــل فى ا لأ مــر لـلــو جـو ب و لا تـد لّ عـلى غـيـره ا لأ بــقــر يــنــة

Asal dalam perintah menunjukan arti wajib` kecuali ada dalil yang memalingkanya.

ا لأ صــل فى ا لأ مــر لأ يــقــتـضى ا لــتــكــرا ر

Asal dalam perintah tidak menghendaki pengulangan

ا لــحــكــم يــد و ر مــع ا لــعــلّـة و جـو دا و عــد مـا

Hokum itu berkisar pada : ada atau tidak adanya illat

ا لأ صــل فى الأ مــر لا يــقـتـضى ا لــفــو ر

Asal dari perintah tidak menunjukan segera.

ا لأ مــر بــا لــشــيـئ أ مــر بــو ســا ئــلــه حـكــم ا لــمــقــا صــد

Perintah kepada sesuatu menjadi perintah pada perantaranya. Dan perantara itu hukumnya sama dengan yang dimakasud

مـا لأ يــتــم ا لــو ا جــب ا لا بـه فــهــو و ا جــب

Tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun hukumnya menjadi wajib.

ا لأ مــر بــا لــشــيئ نــهــي عـن ضــدّ ه

Perintah terhadap sesuatu merupakan larangan dari sebaliknya.

ا لأ مــر بــعـد ا لــنـهـى يــفــيــد ا لأ بــا حــة

Perintah yang jatuh setelah adanya larangan hukumnya adalah boleh.

Kaidah NAHI ( larangan )

ا لــنـهـي هـو طــلـب ا لــكــفّ عـن فــعــل مـن ا لأ عــلى ا لى ا لأ د نى

Laranga adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang rendah

Tafsir Qur'an Allah Bersemayam di Atas Arasy

Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11).
Penjelasan : Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang berbicara tentang tanzih (mensucikan Allah dari menyerupai makhluk), at-Tanzih al Kulliy; pensucian yang total dari menyerupai makhluk. Jadi maknanya sangat luas, dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah maha suci dari berupa benda, dari berada pada satu arah atau banyak arah atau semua arah. Allah maha suci dari berada di atas arsy, di bawah arsy, sebelah kanan atau sebelah kiri arsy. Allah juga maha suci dari sifat-sifat benda seperti bergerak, diam, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan sifat-sifat benda yang lain. Al-Imam Abu Hanifah berkata :
أنـّى يُشْبِهُ الْخَالِقُ مَخْلُوْقَـهُ
"Mustahil Allah menyerupai makhluk-Nya".
Dengan demikian Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, dari satu segi maupun semua segi. Al-Imam Malik berkata:
وَكَيْفَ عَنْهُ مَرْفُوْعٌ
"Kayfa ( bagaimana; sifat-sifat benda) itu mustahil bagi Allah".
Perkataan al-Imam Malik ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dengan sanad yang kuat. Maksud perkataan al-Imam Malik ini adalah bahwa Allah maha suci dari al Kayf (sifat makhluk) sama sekali. Definisi al Kayf adalah segala sesuatu yang merupakan sifat makhluk seperti duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak dan lain–lain.
الْمَحْدُوْدُ عِنْدَ عُلَمَاءِ التّوْحِيْدِ مَا لَهُ حَجْمٌ صَغِيْرًا كَانَ أوْ كَبِيْرًا، وَالْحَدُّ عِنْدَهُمْ هُوَ الْحَجْمُ إنْ كَانَ صَغِيْرًا وَإنْ كَانَ كَبِيْرًا، الذَّرَّةُ مَحْدُوْدَةٌ وَاْلعَرْشُ مَحْدُوْدٌ وَالنُّوْرُ وَالظَّلاَمُ وَالرِّيْحُ كُلٌّ مَحْدُوْدٌ.
"Menurut ulama tauhid yang dimaksud dengan al-mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al-hadd (batasan) menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran dan disebut Mahdud demikian juga arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran dan disebut Mahdud ".
Penjelasan : Allah berfirman :
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ (سورة الأنعام : 1)
"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menjadikan kegelapan dan cahaya" (QS. al An'am : 1).
Dalam ayat ini Allah ta'ala menyebutkan langit dan bumi, keduanya termasuk benda yang dapat dipegang oleh tangan (Katsif). Allah juga menyebutkan kegelapan dan cahaya, keduanya termasuk benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan (Lathif). Ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa pada Azal (keberadaan tanpa permulaan) tidak ada sesuatupun selain Allah, baik itu benda katsif maupun benda lathif. Dan ini berarti bahwa Allah tidak menyerupai benda lathif maupun benda katsif.
Allah ta'ala menciptakan alam ini terbagi menjadi dua bagian: benda dan sifat benda. Benda terbagi menjadi dua: Pertama: benda katsif yaitu benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti pohon, manusia, air dan api. Kedua: Benda Lathif, yaitu benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya, kegelapan, ruh, udara. Masing-masing benda memiliki batas, ukuran, dan bentuk, Allah berfirman:
وَكُلُّ شَىْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ ( سورة الرعد : 8 )
"Segala sesuatu bagi Allah memiliki ukuran (yang telah ditentukan)" (QS. ar-Ra'd: 8)
Bahwa benda katsif memiliki ukuran adalah hal yang sudah jelas. Sedangkan mengenai bahwa benda lathif memiliki ukuran adalah sesuatu yang memerlukan pengamatan dan penelitian yang seksama. Cahaya misalnya memiliki tempat dan ruang kosong yang diisi olehnya, cahaya matahari menyebar ke areal/jarak yang sangat luas yang diketahui oleh Allah, ukurannya sangat luas. Sementara cahaya lilin ukurannya sangat kecil. Cahaya kunang–kunang yang berjalan di rerumputan di malam hari, Allah jadikan cahayanya sekecil itu. Cahaya yang paling luas adalah cahaya surga. Jadi masing-masing cahaya tersebut memiliki batas dan ukuran yang membatasinya. Kegelapan juga memiliki ukuran dan ruang kosong yang diisi olehnya. Kadang tempat kegelapan tersebut sempit dan kadang luas. Demikian juga angin memiliki tempat yang diisi olehnya. Para Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menimbangnya dan mengirimkannya sesuai dengan perintah dan ketentuan Allah. Ada angin yang dingin, angin yang panas. Ada angin yang Allah kirimkan untuk menghancurkan suatu kaum, begitu juga ada angin yang dikirimkan sebagai rahmat. Jadi masing-masing angin tersebut memiliki timbangan yang telah ditentukan oleh Allah. Demikian juga, ruh memiliki ukuran. Ketika ruh berada pada tubuh manusia, ruh berukuran sama dengan badan orang tersebut dan ketika ruh berpisah, meninggalkan badan seseorang ia bertempat di udara tanpa menyatu dengan jasadnya. Kesimpulannya; setiap makhluk pasti memiliki tempat, baik tempat yang besar maupun yang kecil.
Benda paling kecil yang diciptakan oleh Allah dan bisa dilihat oleh mata adalah haba'. Haba' adalah sesuatu yang kecil yang terlihat apabila sinar matahari masuk ke dalam rumah dari jendela, nampak seperti debu yang kelihatan oleh mata, benda ini disebut haba'. Memang masih ada lagi benda yang lebih kecil dari haba', yang bahkan tidak dapat dilihat oleh mata karena sangat kecilnya, walaupun demikian tetap saja benda tersebut memiliki bentuk yaitu bentuk yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah yang disebut dalam istilah tauhid al-Jawhar al-Fard; bagian yang tidak bisa dibagi-bagi lagi. Al-Jawhar al-Fard adalah benda yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah, al-Jawhar al-Fard adalah asal bagi semua benda.
Semua benda ini memilki batas dan ukuran dan karenanya membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, dan dengan begitu benda tidak sah menjadi tuhan. Ketuhanan hanya sah berlaku bagi yang tidak memiliki ukuran sama sekali, yaitu Allah yang maha suci dari status Mahdud (Allah tidak memiliki batas dan ukuran). Makna Mahdud di sini tidak hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki bentuk kecil saja akan tetapi sesuatu yang memiliki bentuk yang besar juga disebut Mahdud.
Sedangkan al-A'radl adalah sifat benda seperti bergerak, diam, warna, rasa dan lain–lain. Jadi di antara sifat benda adalah bergerak dan diam, sebagian benda terus-menerus bergerak, yaitu bintang, bahkan an-Najm al-Quthbi (bintang yang bisa menunjukkan arah kiblat) sekalipun bergerak, hanya saja gerakannya pelan dan bergerak di tempatnya. Sebagian benda lagi ada yang terus–menerus diam seperti tujuh langit yang ada. Sebagian benda lagi kadang diam dan kadang bergerak seperti manusia, malaikat, jin dan binatang.
Termasuk di antara sifat benda juga adalah berwarna kadang sesuatu berwarna putih, ada yang berwarna merah, kuning atau hijau. Matahari juga memiliki sifat, di antara sifatnya adalah panas. Angin juga memiliki sifat di antara sifatnya adalah dingin, panas, berhembus dengan kuat atau pelan.
Jadi Allah ta'ala yang menciptakan alam ini dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, maka Dia tidak menyerupainya, dari satu segi maupun semua segi. Allah ta'ala tidak menyerupai benda katsif maupun benda lathif dan juga tidak bersifat dengan sifat–sifat benda, Allah tidak menyerupai satupun dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, oleh karena itu Ahlussunnah mengatakan:
اللهُ مَوْجُوْدٌ بِلاَ مَكَانٍ وَلاَ جِهَةٍ
"Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah".
Allah menjadikan arah atas sebagai tempat bagi arsy dan para Malaikat yang mengelilinginya dan juga sebagai tempat bagi al-Lauh al-Mahfuzh dan lain-lain. Allah menjadikan manusia, binatang, serangga dan lain-lain bertempat di arah bawah. Jadi Dzat yang menciptakan sebagian makhluk bertempat di arah arsy dan sebagian yang lain di arah bawah mustahil bagi-Nya memiliki arah. Karena seandainya dikatakan dia berada di salah satu arah atau bertempat di semua arah niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah telah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )
"Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya". Inilah aqidah yang diyakini oleh semua kaum muslimin di negara-negara muslim; Indonesia, Mesir, Irak, Turki, Maroko, AlJazair, Tunisia, Yaman, Somalia dan daratan Syam, mereka semua dan yang lain di negara-negara lain semua mengajarkan keyakinan ini.
Sedangkan orang yang meyakini bahwa Allah adalah benda yang sama besarnya dengan arsy, memenuhi arsy atau separuh dari arsy atau meyakini bahwa Allah lebih besar dari arsy dari segala arah kecuali arah bawah atau bahwa Allah adalah cahaya yang bersinar gemerlapan atau bahwa Allah adalah benda yang besar dan tidak berpenghabisan atau berbentuk seorang yang muda atau remaja atau orang tua yang beruban, maka semua orang ini tidak mengenal Allah. Mereka tidak menyembah Allah, meskipun mereka mengira diri mereka muslim. Mereka bukanlah orang yang menyembah (beribadah) Allah, yang mereka sembah adalah sesuatu yang mereka bayangkan dan gambarkan dalam diri mereka, sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Musibah mereka yang paling besar adalah bahwa mereka tidak memahami adanya sesuatu yang bukan benda. Oleh karena itu mereka –dengan segenap upaya- berusaha menjadikan Allah benda yang bersifat dengan sifat-sifat benda pula, lalu bagaimana bisa mereka mengaku mengenal dan memahami firman Allah: Laysa Ka Mitsli Syai’ (QS. Asy-Syura: 11) dan beriman kepadanya?!! Seandainya mereka benar-benar mengetahui ayat tersebut dan beriman dengannya niscaya mereka tidak akan menjadikan Allah sebagai benda, karena alam ini seluruhnya adalah benda dan sifat-sifat yang ada padanya.
Seandainya terjadi perdebatan antara orang-orang Musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti orang Wahhabi -yang meyakini bahwa Allah adalah benda, yang memiliki ukuran- dengan orang yang menyembah matahari. Orang Wahhabi akan mengatakan kepada penyembah matahari: Anda, wahai penyembah matahari, matahari yang engkau sembah ini tidak berhak untuk menjadi tuhan. Penyembah matahari akan menjawab dan berkata kepada orang Wahhabi: bagaimana mungkin matahari tidak berhak untuk disembah, padahal bentuknya indah, manfaatnya sangat besar, anda bisa melihatnya dan saya juga melihatnya dan semua orang melihatnya, semua orang mengetahui dengan baik manfaatnya. Bagaimana mungkin agama saya batil dan agamamu benar, sementara anda menyembah sesuatu yang anda bayangkan dalam diri anda, anda tidak melihatnya dan kami juga tidak melihatnya, anda mengatakan tuhan anda adalah bentuk yang besar yang duduk di atas arsy ?!!.
Orang Wahhabi tidak akan memiliki dalil 'aqli (argumen rasional), seandainya orang Wahhabi mengatakan : al Qur'an telah menegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam, Dia-lah yang berhak untuk disembah, tidak ada sesuatu selain-Nya yang berhak untuk disembah. Maka orang yang menyembah matahari tersebut akan mengatakan kepadanya: Saya tidak beriman dengan kitab suci anda, berikan kepada saya dalil 'aqli bahwa matahari tidak berhak untuk dijadikan tuhan yang disembah dan bahwa apa yang anda sembah yang anda bayangkan (dalam benak anda) itu berhak untuk disembah! Maka orang Wahabi akan terdiam dan membisu.
Sedangkan kita, Ahlussunnah memiliki jawaban yang rasional. Kita akan mengatakan kepada penyembah matahari : matahari yang anda sembah, yang mempunyai ukuran tertentu dan bentuk tertentu, pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran dan bentuk tersebut. Sedangkan tuhan kami, Ia adalah sesuatu yang ada tetapi tidak menyerupai segala sesuatu yang ada, tidak menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, Dia tidak memiliki ukuran, tidak memiliki bentuk, tidak memiliki arah, tidak memilki tempat dan tidak memiliki permulaan. Inilah Dzat yang ada, yang kami sembah yang dinamakan Allah. Dialah yang berhak untuk disembah. Dia yang menciptakan matahari yang anda sembah, manusia dan segala sesuatu yang lain.
Seorang Sunni; penganut akidah Ahlussunnah ketika mengeluarkan hujjah 'aqli ini tanpa mengatakan: Allah ta'ala berfirman demikian, telah mampu mengalahkan orang kafir yang menyembah matahari tersebut. Maka segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita petunjuk kepada keyakinan yang benar ini, kita tidak akan menemukan kebenaran dan petunjuk semacam ini seandainya tidak karena mendapat petunjuk Allah. Al-Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata:
مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ (رَوَاه أبُو نُعَيم)
"Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)" (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Penjelasan : Maksud dari perkataan sayyidina Ali ini adalah bahwa orang yang berkeyakinan atau beranggapan bahwa Allah adalah benda yang besar atau kecil maka dia adalah kafir, tidak mengenal Allah, seperti orang yang meyakini bahwa Allah menempati salah satu arah seperti arah atas. Karena dengan keyakinan seperti ini orang tersebut telah menjadikan Allah mahdud (memiliki ukuran), padahal setiap yang mahdud (berukuran besar atau kecil) pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, sementara yang membutuhkan itu lemah dan yang lemah mustahil menjadi tuhan.
Dengan demikian dalam perkataan sayyidina Ali ini terdapat dalil yang jelas bahwa Allah maha suci dari hadd (ukuran) sama sekali. Maka barangsiapa yang menyandarkan kepada Allah sifat duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak maka sesungguhnya dia tidak mengenal Allah, dan barangsiapa berkeyakinan demikian terhadap Allah maka sesungguhnya ia seorang kafir yang rusak akidahnya.
Haba' memiliki ukuran, semut memiliki ukuran, manusia memiliki ukuran, matahari memiliki ukuran, langit memiliki ukuran, arsy memiliki ukuran. Jadi masing-masing yang disebutkan memiliki ukuran dan membutuhkan kepada yang menjadikannya dengan ukuran tersebut.
Jadi, setiap sesuatu yang memiliki ukuran pasti dia adalah makhluk, yang membutuhkan (kepada selainnya) dan lemah maka tidaklah sah baginya sifat ketuhanan. Ketuhanan hanya sah bagi yang tidak memiliki bentuk dan ukuran; yaitu Dialah Allah yang tidak membutuhkan kepada seluruh alam, Dialah yang tidak mempunyai bentuk dan ukuran. Al-Imam al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:
لاَ تَصِحُّ الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
Artinya barangsiapa yang tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya memiliki ukuran yang tidak berpenghabisan misalnya maka dia adalah kafir. Dan tidak sah bentuk-bentuk ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya. Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi ( 227-321 H) berkata:
تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالغَايَاتِ وَالأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut".
Penjelasan : Al-Imam ath-Thahawi adalah Ahmad bin Muhammad bin Sallamah, lahir tahun 227 H. Jadi beliau masuk dalam makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam :
خَيْرُ الْقُرُوْنِ قَرْنِي ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ )رَوَاهُ التّرمِذِي(
"Sebaik–baik abad adalah abad-ku, kemudian satu abad setelahnya, kemudian satu abad setelahnya" (HR. at-Tirmidzi)
Al-Imam ath-Thahawi menyebutkan perkataannya tersebut dalam kitab penjelasan aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, yang kitab ini telah dianggap baik dan diterima oleh seluruh ummat Islam dari generasi ke generasi.
Makna dari “Ta'ala” adalah bahwa Allah maha suci
Maksud perkataan ath-Thahawi bahwa Allah maha suci dari ”Hudud” adalah bahwa Allah maha suci dari Hadd sama sekali. Hadd adalah benda dan ukuran, besar maupun kecil. Suatu benda pasti berada pada suatu tempat dan arah. Sedangkan Allah maha suci dari berupa benda, berarti Allah ada tanpa tempat. Seandainya Allah adalah benda niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah ta'ala telah berfirman:
فَلاَ تَضْرِبُوْا لِلّهِ الأمْثَالَ (سورة النحل : 74)
"Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi Allah"(QS. an-Nahl: 74)
Dengan demikian barangsiapa mengatakan bahwa Allah memiliki hadd yang hadd tersebut tidak ketahui oleh kita, hanya Allah saja yang mengetahuinya maka sungguh orang ini adalah seorang yang kafir, karena dengan demikian dia telah menetapkan Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Maksud perkataan ath-Thahawi ”La Tahwihi al-Jihat as-Sittu...” bahwa Allah mustahil berada di salah satu arah atau di semua arah karena Allah ada tanpa tempat dan arah. Enam arah yang dimaksud adalah adalah atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang. Maksud perkataan ath-Thahawi ”Ka Sa-ir al-Mubtada’at” adalah bahwa semua makhluk diliputi oleh arah, sedangkan Allah tidak menyerupai makhluk-Nya dari satu segi maupun semua segi dan Allah tidak bisa digambaarkan dalam hati dan benak manusia. al-Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan:
مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ (روَاه أبُو الفَضْلِ التَّمِيْمِيُّ)
"Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu". (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi).
Jika ada pertanyaan: Bagaimana hal demikian itu bisa terjadi (bahwa ada sesuatu yang ada tetapi tidak bisa dibayangkan dan digambarkan dengan benak)? Jawab: Bahwa di antara makhluk ada yang tidak bisa kita bayangkan akan tetapi kita harus beriman dan meyakini adanya. Yaitu bahwa cahaya dan kegelapan keduanya dulu tidak ada. Tidak ada satupun di antara kita yang bisa membayangkan pada dirinya bagaimana ada suatu waktu atau masa yang berlalu tanpa ada cahaya dan kegelapan di dalamnya?! Meski demikian kita wajib beriman dan meyakini bahwa telah ada suatu masa yang berlalu tanpa dibarengi dengan cahaya dan kegelapan, karena Allah berfirman:
وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنّوْرَ (سورةالأنعام : 1)
"...dan Dia yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya" (QS. Al-An'am: 1). Artinya bahwa Allah yang telah menciptakan kegelapan dan cahaya dari yang sebelumnya tidak ada. Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih utama kita beriman dan percaya tentang Allah Yang mengatakan tentang Dzat-Nya: Laysa Kamitslihi Syai’ (QS. Asy-Syura: 11), maka Allah tidak tergambar dalam benak dan tidak diliputi oleh akal, Allah ada, maha suci dari bentuk dan ukura, ada tanpa tempat dan arah.  Al-Imam ath-Thahawi juga berkata:
وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِـي الْبَشَرْ فَقَدْ كَفَرَ
“Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”.
Penjelasan : Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir. Sifat–sifat manusia banyak sekali. Sifat yang paling nyata adalah baharu, yakni ”ada setelah sebelumnya tidak ada”. Di antara sifat manusia juga adalah mati, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, bergerak, diam, infi'al (merespon peristiwa dengan kegembiraan atau kesedihan atau semacamnya yang nampak dalam raut muka dan gerakan anggota tubuh), turun dari atas ke bawah, naik dari bawah ke atas, berpindah, memiliki warna, bentuk, panjang, pendek, bertempat pada suatu arah dan tempat, membutuhkan, memperoleh pengetahuan yang baru, terkena lupa, bodoh, duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak, berjarak, menempel, berpisah dan lain–lain. Jadi barangsiapa mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia tersebut maka dia telah kafir.  Al-Imam Ahmad ar-Rifa'i (W 578 H) dalam al-Burhan al-Mu-ayyad berkata:
صُوْنُوْا عَقَائِدَكُمْ مِنَ التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ مَا تَشَابَهَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ أُصُوْلِ الْكُفْرِ
“Hindarkan aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur'an dan hadits yang mutasyabihat, sebab hal demikian merupakan salah satu pangkal kekufuran”.
Penjelasan : Al-Imam ar-Rifa'i hidup pada abad ke enam hijriyyah, beliau adalah seorang ahli hadits, ahli tafsir, pengikut al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dalam rumusan aqidah dan pengikut madzhab Syafi'i dalam fiqih. Beliau adalah orang paling mulia dan paling alim di masanya. Beliau sangat menekankan tanzih (mensucikan Allah ta'ala dari menyerupai makhluk). Di antara perkataan beliau dalam masalah tanzih adalah perkataan yang beliau sebutkan dalam kitab al-Burhan al-Muayyad tersebut. Maksud perkataan beliau adalah bahwa orang yang mengambil zhahir sebagian ayat al Qur'an dan hadits Nabi, yang memberikan persangkaan bahwa Allah adalah benda yang bersemayam di atas arsy atau bahwa Allah berada di arah bumi atau bahwa Allah mempunyai anggota badan, bergerak dan yang semacamnya maka orang tersebut telah kafir. Seperti orang yang menafsirkan ayat:
الرّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
dengan duduk maka orang tersebut telah kafir. Karena mengatakan duduk bagi Allah adalah cacian terhadap-Nya sebab duduk adalah sifat malaikat, Jin, manusia, anjing, babi dan monyet. Makna ayat tersebut yang benar adalah bahwa Allah maha menguasai arsy. Makna ini layak bagi Allah karena Allah telah menamakan Dzat-Nya:
اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّار (يوسف: 39)
”Allah maha esa lagi maha berkuasa”. Oleh karena itu orang-orang Islam biasa menamakan anak mereka dengan Abdul Qahir atau Abdul Qahhar, tidak ada seorangpun yang menamakan anaknya Abdul Jalis atau Abdul Qa'id. Demikian pula orang yang mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy dengan ada jarak antara Allah dengan arsy, artinya tanpa menyentuhnya maka tetap saja dia seorang yang kafir. Karena setiap sesuatu yang berada di atas sesuatu yang lain pasti berkemungkinan berukuran sama dengan sesuatu tersebut atau lebih besar atau lebih kecil. Dan segala sesuatu yang menerima ukuran maka dia adalah makhluk, yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut.
Adapun pernyataan sebagian kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyah sekarang bahwa Allah berada di atas arsy yang di atas arsy tersebut tidak ada tempat pernyataan ini terbantahkan dengan hadits riwayat al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ لَمَا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابٍ فَهُوَ مَوْضُوْعٌ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ إنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ
"Sesungguhnya Allah ketika menciptakan makhluk menciptakan kitab (tulisan) yang terletak di atas arsy dan dimuliakan oleh Allah yang berbunyi sesungguhnya (tanda-tanda) rahmat-Ku lebih banyak dari (tanda-tanda) murka-Ku" (HR. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya). Dan dalam riwayat Ibnu Hibban dengan redaksi:
وَهُوَ مَرْفُوْعٌ فَوْقَ الْعَرْشِ
"Dan dia arsy terangkat (diletakan) di atas arsy".
Dengan demikian hadits ini adalah dalil bahwa di atas arsy terdapat tempat. Karena bila di atas arsy tidak ada tempat maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan bahwas kitab tersebut diletakkan di atasnya. Adapun kata “’Indahu” dalam hadits tersebut adalah dalam makna “dimuliakan”, karena penggunaan kata “’Inda” mengandung makna untuk memuliakan, sebagaimana firman Allah tentang orang-orang yang saleh:
وَإنّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الأخْيَارِ (ص: 47)
Kata “’Indana…” dalam ayat ini artinya untuk memuliakan bukan untuk menyatakan bahwa Allah berada pada tempat yang bertetanggaan atau bersampingan dengan tempat orang-orang saleh tersebut. Dengan demikian dalam keyakinan kaum Musyabbihah yang menetapkan Allah bertempat di atas arsy telah menjadikan kitab tersebut di atas sebagai keserupaan bagi-Nya. Ini artinya sama saja mereka telah mendustakan firman Allah: “Laysa Kamitslihi Syai’ (Qs. Asy-Syura: 11). Demikian juga orang yang memahami firman Allah:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ (الآعراف: 54)
dengan menafsirkan bahwa Allah berada pada arah bawah atau arah bumi kemudian naik ke arah atas lalu menciptakan langit, kemudian Dia naik ke arsy lalu bersemayam (bertempat) maka orang ini telah menjadi kafir. Makna ayat yang benar adalah bahwa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan bahwa Allah sebelum menciptakannya telah menguasai arsy. Kata “tsumma” artinya dalam makna ”wa”; maknanya “dan”. Al-Imam Abu Manshur al-Maturidi berkata: Firman Allah:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
artinya adalah " sungguh Allah telah menguasai arsy " .
Begitu pula orang yang menafsirkan firman Allah:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (البقرة: 115)
diartikan dengan anggota tubuh atau bahwa Dia berada pada arah bumi maka dia seorang yang kafir. Makna yang benar; Wajhullah adalah Kiblat Allah, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Mujahid; murid dari sahabat Abdullah ibn Abbas.
Demikian pula orang yang memahami firman Allah:
كُلُّ شَيءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَهْ (القصص: 88)
dengan mengartikan bahwa alam ini adalah sesuatu maka ia akan punah, begitu pula Allah adalah sesuatu maka Dia akan punah, dan tidak ada sesuatu yang kekal dari Allah kecuali bagian wajah saja maka orang ini dihukumi kafir. Pemahaman buruk seperti ini sebagaimana penafsiran seorang Musyabbih yang bernama Bayan ibn Sam'an at-Tamimi. Adapun makna yang benar dari kata ”Wajhahu..” di atas adalah dalam makna ”kerajaan”, atau dalam makna ”sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah” sebagaimana takwil ini telah dinyatakan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Sufyan ats-Tsauri.
Demikian juga orang menafsirkan firman Allah tentang perahu Nabi Nuh:
تَجْرِيْ بأعْيُنِنَا (القمر: 14)
dengan anggota tubuh (mata) maka orang tersebut telah kafir. Adapun makna yang benar adalah ”memelihara”, artinya bahwa perahu Nabi Nuh tersebut berjalan dengan ”pemeliharan” dan ”penjagaan” dari Allah sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh para ahli tafsir.
Demikian pula orang yang memahami firman Allah:
يَدُ اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)
dalam pengertian anggota tubuh maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar kata ”yad” di sini adalah ”al-’ahd”; artinya ”janji” sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama.
Demikian pula orang yang menafsirkan firman Allah:
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (الفجر: 22)
dalam makna bahwa Allah bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar adalah ”datang kekuasaan Allah”, artinya tanda atau pengaruh dari sifat kuasa-Nya, sebagaimana demikian telah ditafsirkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal (sebagaimana telah diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Baihaqi dengan sanad yang kuat dari al-Imam Ahmad).
Demikian juga dengan orang yang menafsirkan firman Allah:
أأمِنْتُمْ مَنْ فِي السّمَاءِ أنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ (الملك: 16)
dengan mengatakan bahwa Allah mengambil tempat dilangit maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar dari maksud ”man fi as-sama’” adalah ”Malaikat”, sebagaimana pemahaman ini telah dinyatakan oleh Syaikh al-Huffadz al-Imam Zainuddin Abdrrahim al-Iraqi dalam kitab al-Amaliy al-Mishriyah. Dalam menafsirkan hadits:
ارْحَمُوْا مَنْ فِي الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
”Sayangilah oleh kalian orang yang berada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh yang berada di langit”, al-Imam al-’Iraqi menafsirkannya dengan hadits riwayat lain dengan redaksi:
ارْحَمُوْا أهْلَ الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ أهْلُ السّمَاءِ
"Sayangilah oleh kalian penduduk bumi niscaya kalian akan disayangi oleh penduduk langit", karena hadits yang kedua ini sangat jelas memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud adalah para Malaikat.
Demikian juga orang yang menafsirkan hadits al-Jariyah as-Sauda yang terdapat dalam riwayat al-Imam Muslim dengan berkesimpulan bahwa Allah mengambil tempat di arah atas (berada di langit) maka orang ini telah kafir. Hadits ini oleh sebagian ulama tidak diambil dengan alasan bahwa hadits tersebut adalah mutharib (hadits yang memiliki banyak redaksi yang satu sama lainnya berbeda-beda), karenanya mereka manganggapnya cacat, disamping karena telah menyalahi dasar keyakinan. Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah menghukumi ke-islam-an seseorang hanya karena mengatakan ”Allah di langit”, karena kata-kata ini adalah keyakinan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Bagaimana mungkin kata-kata ”Allah di langit” sebagai tanda bagi keimanan seseorang?!
Sebagian ulama lainnya menerima hadits ini; namun tidak dipahami dalam makna zhahirnya, tetapi mereka mentakwilkannya. Bahwa pertanyaan Rasulullah kepada budak perempuan tersebut adalah dalam makna ”Bagaimana engkau mengagungkan Allah?”. Dan makna jawaban budak tersebut ”Fi as-Sama’” adalah dalam pengertian ”sangat tinggi derajat-Nya”. Maka berdasarkan pemahaman dua pendapat ulama tersebut di atas tidak ada jalan bagi orang-orang Wahhabi untuk membatah kita.
Begitu juga dengan orang yang menafsirkan hadits Nabi:
يَنْـزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السّمَاءِ الدُّنْيَا حِِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرِ يَقُوْلُ مَنْ يَدْعُوْنِي فأسْتَجِيْبَ لَهُ منْ يَسْألُنِيْ فأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
dengan menafsirkan bahwa Allah bergerak dan turun dari atas ke langit dunia dan berdiam di sana sampai terbit fajar kemudian setelah itu Dia naik ke arah arsy maka orang tersebut telah menjadi kafir. Yang sangat mengherankan dari kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah sekarang, mereka meyakini bahwa Allah sama besar dengan arsy, lalu mereka mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia, padahal mereka tahu bahwa besarnya langit dunia dibanding besarnya arsy seperti setetes air dibanding lautan luas, ini artinya dalam keyakinan mereka bahwa Allah ketika turun ke langit dunia menjadi sangat kecil, na’udzu Billah. Ini merupakan bukti nyata akan kebodohan akal mereka. Lalu dengan pemahaman tersebut mereka juga berarti menetapkan bahwa perbuatan Allah hanya turun dan naik saja agar bersesesuaian dengan masing-masing sepertiga akhir malam di setiap bagian bumi ini oleh karena sepertiga akhir malam itu berbeda–beda satu wilayah dengan lainnya. Ini juga merupakan bukti nyata akan kebodohan akal mereka.
Makna yangbenar dari hadits tersebut adalah bahwa Malaikat turun dengan perintah Allah ke langit dunia, hingga ketika datang sepertiga akhir malam maka mereka menyeru bagi penduduk bumi sesuai apa yang diperintahkan oleh Allah sehingga terbit fajar: “Sesungguhnya Tuhan kalian berkata: Barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku beri ia, barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku maka akan Aku kabulkan baginya, barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni ia”. Pemahaman ini sebagaimana terdapat dalam riwayat al-Imam an-Nasa-i dengan riwayat shahih bahwa Rasulullah bersabda:
إنَّ اللهَ يُمْهِلُ حَتَّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوَّلُ فَيأْمُرُ مُنَادِيًا فَيُنَادِيْ ....
“Sesungguhnya Allah membiarkan malam berlalu hingga lewat separuh malam pertama, setelah itu lalu Allah memerintahkan kepada malaikat untuk menyeru (bagi penduduk bumi), maka ia berseru:…..”.
Kemudian dari pada itu sebagian para perawi al-Imam Bukhari telah memberi harakat “Dlammah” pada kata “Yanzilu..” menjadi “Yunzilu…”, dengan demikian maknanya semakin jelas bahwa yang turun ke langit dunia tersebut adalah adalah malaikat; dengan perintah Allah. Kesimpulannya, siapapun yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, walaupun hanya dengan satu sifat saja, maka dia digolongkan sebagai Musyabbih Mujassim, dan sesuangguhnya seorang Mujassim itu seorang yang kafir sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’i.
Adapun makna perkataan al-Imam ar-Rifa’i tersebut di atas adalah bahwa berpegangteguh dengan makna-makna zhahir dari teks-teks mutasyabihat, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadits, maka hal itu telah menjatuhkan banyak orang dalam kekufuran, karena hal itu telah menjatuhkan mereka dalam keyakinan tasybih. Al-Imam Ahmad ar-Rifa’i juga berkata:
غَايَةُ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ الإيْقَانُ بِوُجُوْدِهِ تَعَالَى بِلاَ كَيْفٍ وَلاَ مَكَانٍ
“Puncak pengetahuan seseorang itu kepada Allah adalah dengan berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa sifat benda dan tanpa tempat“.
Maksudnya adalah bahwa puncak yang dapat diraih oleh seorang hamba untuk mengenal Allah adalah meyakini keberadaan-Nya tanpa mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda, dan meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sesungguhnya ini inilah puncak pengetahuan (ma’rifah) kepada Allah dari para Nabi dan para Malaikat, serta para wali Allah. Karena mengenal (ma’rifah Allah) Allah bukan dengan cara membayangkan, bukan dengan cara memprakirakan, dan juga bukan dengan cara menyerupakan-Nya. Allah bukan benda dan Allah juga tidak dapat diperumpamakan oleh gambaran dan pikiran manusia. Sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran maka pasti bisa digambarkan oleh akal pikiran, sementara Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran maka Dia tidak dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia. Mengenal Allah cukup dengan meyakini-Nya bahwa Dia Maha ada, tidak dengan membayangkan-Nya berada pada arah tertentu; seperti arah atas.
Jika orang Wahabiy mengatakan: “Sesuatu yang ada itu harus memiliki arah dan tempat, bagaimana kalian mengatakan bahwa Allah ada tanpa arah dan tempat?!”, kita katakan kepadanya bahwa jika Allah memiliki arah dan tempat niscaya Dia akan mempunyai banyak keserupaan, juga jika Dia memiliki arah maka berarti ada yang menjadikan-Nya pada arah tersebut, padahal setiap yang ”dijadikan” itu pastilah dia itu makhluk, bukan Tuhan. Demikian inilah makna yang dimaksud dari perkataan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i di atas, dan beliau adalah seorang yang sangat mendalam dalam ilmu akidah, beliau telah mengungkapkan perkataannya tersebut dalam kitab “Halatu Ahl al-Haqiqah Ma’a Allah “ . Sebagian ulama berkata:
عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ يَا صَاحِبَ الْحِجَا لِتَسْلَمَ فِي الدُّنْيَا وَيَوْم القِبَامَة
“Hendaklah anda memperpanjang diam wahai orang yang punya akal, agar selamat di dunia dan akhirat / kiamat.”
Perkataan ini diambil dari sabda Rasulullah kepada Abu Dzar:
عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ إلاّ مِنْ خَيْرٍ فَإنّهُ مَطْرَدَةٌ لِلشّيْطَانِ عَنْكَ وَعَوْنٌ لَكَ عَلَى أمْرِ دِيْنِكَ (رواه ابن حبان)
“Hendaklah kamu memperpanjang diam kecuali kepada hal yang baik, karena demikian itu dapat megalahkan syaitan dan menolong kamu dalam urusan agamamu “ (HR. Ibnu Hibban).
Seorang yang memiliki akal cerdas adalah orang yang selalu menghadirkan makna firman Allah:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ (ق: 18)
“Tidaklah seseorang itu berucap dari sebuah perkataan kecuali dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid“ (QS. Qaf: 18). Dia tidak akan berkata-kata kecuali bila ada manfaatnya. Wa Allah A’lam Bi Ash-Shawab, Wa Ilaih at-Tuklan Wa al-Ma’ab.